Kewenangan Terbatas, Kinerja BSBI Tak Optimal
11-01-2017 /
KOMISI XI
Terbatasnya kewenangan Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI), membuat institusi ini tak optimal bekerja mengawasi kebijakan Bank Indonesia (BI). UU No.6/2009 tentang BI yang mengatur BSBI cenderung tak jelas. Padahal, lembaga ini penting untuk membantu DPR RI dalam mengontrol BI.
Demikian disampaikan Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan dalam rilisnya yang diterima Parlementaria, Rabu (11/1). “Kewenangan yang dimiliki BSBI sangat terbatas, bahkan cenderung tidak jelas alias kabur,” kata Heri. Pasal 58A Ayat (1) UU tentang BI disebutkan, “Untuk membantu DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap BI dibentuk badan supervisi dalam upaya meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas BI”.
Politisi Partai Gerindra ini, mengkritisi kata “bidang tertentu” dalam pasal tersebut. Inilah sumber ketidakjelasan kewenangan BSBI dalam mengawasi BI. Masih pada pasal yang sama, lanjut Heri, dibentuknya BSBI untuk meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas BI. Menurutnya, seluruh indikator itu tidak spesifik dan tidak menyentuh aspek-aspek penting terkait pengawasan terhadap kebijakan moneter BI.
“Kerja BSBI hanya menyentuh hal-hal di permukaan saja. Substansinya nol. Padahal, semangat dibentuknya BSBI, kan, untuk membantu DPR dalam melakukan pengawasan atas kebijakan BI yang harus independen dan minim kepentingan,” ungkap Heri. Pada ayat (2), masih pasal yang sama, disebutkan bahwa BSBI memiliki lima anggota (satu merangkap ketua) yang dipilih oleh DPR dan diangkat oleh presiden untuk masa jabatan tiga tahun.
Menurut Heri, mekanisme rekrutmen dan penjaringan anggota BSBI selama ini belum spesifik dan detil. Mereka yang menjadi anggota BSBI tidak jelas atas rekomendasi siapa, oleh panitia seleksi yang mana, dan atas dasar kriteria apa. Semua mekanismenya tidak transparan. “Dengan model yang tidak jelas begitu, maka BSBI tidak ubahnya sebuah kotak untuk bagi-bagi kekuasaan saja,” tutur Heri lagi.
Soal kewajiban BSBI yang harus menyampaikan laporan tugasnya dalam tiga bulan kepada DPR, juga tidak jelas. Heri mengaku, belum pernah menerima laporan BSBI. Tidak jelas, apakah laporan tersebut dalam bentuk tertulis atau hanya diserahkan kepada anggota tertentu, tanpa penjelasan langsung. Ini diatur dalam Pasal 58A Ayat (6). Dia lalu mencotohkan, kebijakan cetak uang baru dengan logo rectoverto begambar palu arit, seharusnya BSBI dapat memberikan laporan dan masukan kepada DPR terkait urgensi mencetak uang baru.
“Dengan tidak menyerahkan laporan tersebut, maka ketua dan anggota BSBI yang ada sekarang berpotensi melanggar UU,” tandasnya. Namun, sanksinya pun tak jelas, karena UU ini tidak menyebutkan secara detil. Hal lain, masih kata Heri, soal anggaran operasional BSBI yang melekat pada anggaran BI. Dengan skema penganggaran seperti ini bisa memunculkan konflik kepentingan. Objektivitas laporan pengawasan BSBI bisa dipertanyakan validitasnya.
Heri mengusulkan agar ada amandemen atas UU BI tersebut, khususnya menyangkut kedudukan BSBI. Dalam amandemen nanti perlu diperjelas penguatan kewenangan BSBI, skema penganggaran operasional BSBI yang terpisah dari anggaran BI, mekanisme rekrutmen yang lebih terbuka, dan kedudukan BSBI yang tidak harus di Jakarta.
Namun, perlu pula dipikirkan eksistesinya di daerah-daerah. Sebab, tutur Heri, BI juga ada di daerah-daerah. Dengan begitu, proses pengawasan BI menjadi berjenjang dan lebih mencerminkan keadaan lapangan. Bukan sebatas laporan umum saja. “Jika hal-hal di atas tidak bisa dilaksanakan, maka BSBI sudah wajib dibubarkan dengan menghapus Pasal 58A. Selanjutnya, fungsi pengawasannya BI diserahkan sepenuhnya pada Komisi XI DPR RI,” tutup Heri. (mh) foto: azka/hr.